Teori Perencanaan Pembangunan
Konsep dasar perencanaan adalah rasionalitas, ialah cara berpikir ilmiah
dalam menyelesaikan problem dengan cara sistematis dan menyediakan
berbagai alternatif solusi guna memperoleh tujuan yang diinginkan. Oleh
karena itu perencanaan sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat dalam
mengembangkan budaya ilmiah dalam menyelesaikan Tugas Filsafat dan
Teori Perencanaan Pembangunan 2 permasalahan yang dihadapinya. Hal ini
cukup beralasan karena perencanaan juga berkaitan dengan pengambilan
keputusan (decision
maker), sedangkan kualitas hasil pengambilan keputusan berkorelasi
dengan pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience), informasi
berupa data yang dikumpulkan oleh pengambil keputusan (ekskutor). Untuk
lebih jelasnya dapat di lihat kembali pada kurva/grafik spatial data dan
decesion.
Menurut friedmann, perencanaan akan berhadapan dengan problem mendasar
yakni bagaimana teknis pengetahuan perencanaan yang efektif dalam
menginformasikan aksi-aksi publik. Atas dasar tersebut maka perencanaan
didefinisikan sebagai komponen yang menghubungkan antara pengetahuan
dengan aksi/tindakan dalam wilayah publik. Pada prinsipnya friedmann
menyatakan perencanaan harus bertujuan untuk kepentingan
masyarakat banyak.
Disisi lain Campbell dan Fainstain (1999:1) menyatakan bahwa dalam
pembangunan Kota atau daerah dipengaruhi sistem ekonomi kapitalis atau
demokratis. Dalam konteks tersebut maka pada prakteknya perencanaan
tidak dapat dipisahkan dengan suasana politik kota atau daerah sebab
keputusan-keputusan publik mempengaruhi kepentingankepentingan
lokal. Hal ini menjadi relevan apabila kekuasaan mempengaruhi
perencanaan. Ketika perencanaan telah dipengaruhi oleh sistem politik
suatu kota atau daerah sebagaiman pernyataan di atas, maka sebenarnya
yang terjadi adalah wilayah rasional yang menjadi dasar dalam
perencanaan telah kehilangan independensinya. Selanjutnya perencanaan
akan menjadi tidak efektif dan efesien, bersifat mendua antara idealisme
“kepakaran seorang perencana” atau mengikuti selera atau
kemauan-kemauan, sehingga berimplikasi pada kualitas perencanaan dalam
pencapaian goal (tujuan) dan objektif (sasaran) yang dituju.
Disamping itu karena perencanaan merupakan pekerjaan yang menyangkut
wilayah publik maka komitmen seluruh pemangku kepentingan (stake holder)
yang terlibat sangat dibutuhkan sehingga hasil perencanaan dapat
dibuktikan dan dirasakan manfaatnya.
PARADIGMA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan
landasan konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu relatif
singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Dengan
berlakunya amandemen UUD 1945 tersebut, telah terjadi perubahan dalam
pengelolaan pembangunan, yaitu : (1) penguatan kedudukan lembaga
legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN); (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai
pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya
otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Mengenai dokumen perencanaan pembangunan nasional yang selama ini
dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan adalah dalam bentuk GBHN yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(MPR-RI) Ketetapan MPR ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk
dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan
memperhatikan saran DPR, sekarang tidak ada lagi.
Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah
bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan
zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola
reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang
melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU Nomor 22/1999
dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU
Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor
23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas,
partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu
dokumen perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan
gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik
dunia pasca tragedi 11 September 2001.
Perjalanan dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas
pembangunan sebuah bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat
dilihat dalam beberapa periode yakni :
Dokumen perencanaan periode 1958-1967
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno (Orde Lama) antara tahun
1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan
yang menjadi dasar perencanaan nasional yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960
tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar
Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS
No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar
Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dokumen perencanaan periode 1968-1998
Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah
ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan
pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana
Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat
sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan
sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif.
Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put
perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara
seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh
pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa
dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas
daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi
anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat
sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down
diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik,
namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun
semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika
reformasi terjadi.
Dokumen perencanaan periode 1998-2000
Pada periode ini yang melahirkan perubahan dramatis dan strategis dalam
perjalanan bagsa Indonesia yang disebut dengan momentum reformasi, juga
membawa konsekuensi besar dalam proses penyusunan perencanaan
pembangunan nasional, sehingga di periode ini boleh dikatakan tidak ada
dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan pegangan
dalam pembangunan bangsa, bahkan sewaktu pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid terbersit wacana dan isu menyangkut pembubaran lembaga
Perencanaan Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut
tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks reformasi.
Dokumen perencanaan periode 2000-2004
Pada sidang umum tahun 1999, MPR mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Berbeda dengan
GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan
Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam bentuk Program
Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta)
yang memuat APBN, sebagai realisasi ketetapan tersebut, Presiden dan
DPR bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi
penyusunan rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap
tahunnya sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda
menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah
(Repetada).
Dokumen perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN
Diujung pemerintahannya Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani
suatu UU yang cukup strategis dalam penataan perjalanan sebuah bangsa
untuk menatap masa depannya yakni UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan
Pembangunan Nasional. Dan bagaimanapun UU ini akan menjadi landasan
hukum dan acuan utama bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk memformulasi dan mengaplikasikan sesuai dengan amanat UU
tersebut. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan
pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam
UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang,
jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara
pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.
Intinya dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas
perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh
kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah
sesuai dengan kewenanganya mencakup : (1) Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan
(3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja
Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk
periode 1 (satu) tahun.
Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling
tidak memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan
kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan
pembangunan nasional kedepan, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali
ini UU tentang perencanaan pembangunan nasional ditetapkan lewat UU,
padahal peran dan fungsi lembaga pembuat perencanaan pembangunan selama
ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar.
Tapi pertanyaan kita, apakah UU nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN ini
tidak hanya bertukar kulit saja ? apakah RPJP, RPJM, RKP itu secara
model dan mekanisme perumusannya sama saja halnya dengan program jangka
panjang yang terkenal dengan motto menuju Indonesia tinggal landas,
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan berbagai periode dan
APBN sebagai program satu tahunnya semasa pemerintahan Orde Baru ?
Apakah aspirasi, partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses
penjaringan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi dari perencanaan yang
dibuat, masih dihadapkan pada balutan sloganistis dan pemenuhan azas
formalitas belaka ? mungkin substansi ini yang perlu kita sikapi bersama
dalam konteks perumusan kebijakan dokumen perencanaan pembangunan
nasional maupun daerah ini kedepan.
Perencanaan Pembangunan Nasional menurut Teori Tradisional
Pemerintah memiliki wadah yang sangat luas dalam pembangunan. Dengan
adanya keterbukaan dalam proses penyelenggaraana negara maka pemerintah
mendorong masyarakat untuk berpartisifasi aktif dalam pemerintahan atau
dalam pelaksanaan pembangunan, mendorong masyarakat untuk melakukan
kontrol sosial terhadap setiap kebijaksanaan pemerintah, sehingga akan
terhindar terjadinya KKN dalam pemerintahan.
Dengan keterbukaan berarti pemerintah atau penyelenggara negara sanggup
bertanggungjawab terhadap kegiatan yang dilakukan kepada rakyat.
Tanggungjawab ini menyangkut masalah proses pengerjaan, pembiayaan dari
segi manfaatnya bagi masyarakat, bangsa dan negara, maka terjalin
hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat yang pada gilirannya
akan menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan
nasional.
Menurut Growth (1960) teori pertumbuhan ekonomi dapat dikemukakan menjadi beberapa tahap yaitu :
Tahap Masyarakat Tradisional
Masyarakat menciptakan produksi yang amat rendah sehingga pendapatan per
kapita yang kurang pemerataan, di bidang pertanian sumber tenaga mesin
sangat kurang maka masyarakat atau pemerintah bahan memperbaiki kondisi
ekonomi sosial dan budaya berbagai komunitas menginvestasikan ke dalam
kehidupan bangsa, menciptakan kemampuan menjalankan bangsa.
Tahap Masyarakat Dewasa
Tahap masyarakat dewasa dalam arti masyarakat yang mampu memilih dan
memberi respon terhadap perubahan dan mampu mengendalikan masa depannya
sehingga tidak bergantung kepada pihak lain.
Pengertian Pembangunan
Pembangunan adalah suatua proses kegiatan masyarakat atas prakata
sendiri atau pemerintah dalam memperbaiki kondisi ekonomi sosial dan
budaya berbagai komunitas, mengintrogasikan berbagai komunitas ke dalam
kehidupan bangsa, menciptakan kemampuan memajukan bangsa secara terpadu.
Pembangunan daerah adalah proses kegiatan, masyarakat daerah dalam
memperbaiki kondisi ekonomi sosial dan budaya yang bertempat tinggal di
suatu daerah tertentu.
PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF ANTARA TANTANGAN DAN HARAPAN
Seiring dengan penerapan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah, maka
peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi upaya meningkatkan
peran serta dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Semangat seperti
itulah yang saat ini terus bergulir ditengah-tengah masyarakat, meskipun
dalam prakteknya belum sebagaimana yang diharapkan banyak pihak.
Barangkali itulah proses yang harus dilalui secara bertahap dan
berkesinambungan untuk bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Kalau merujuk pada UU No 22 Tahun 1999, yang dimaksud otonomi daerah
adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa otonomi daerah
memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya
sendiri, termasuk bagaimana suatu daerah melakukan perencanaan
pembangunan di daerahnya masing-masing.
Perencanaan Pembangunan Partisipatif
Salah satu pola pendekatan perencanaan pembangunan yang kini sedang
dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif. Pemerintah
Kota (Pemkot) Surakarta sejak tahun 2001 telah mencoba melakukan
perencanaan pembangunan partisipatif didalam kerangka menggali aspirasi
yang berkembang di masyarakat melalui musyawarah tingkat RT, RW,
kelurahan, kecamatan dan kota. Sebuah langkah positif yang patut
dikembangkan lebih lanjut, apalagi hal seperti itu masih dalam taraf
pembelajaran yang tentu saja disana-sini masih terdapat kelemahan baik
dalam tataran konsep maupun implementasinya di masyarakat.
Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan
perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada
umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek
pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan
pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach). Nampaknya mudah
dan indah kedengarannya, tetapi jelas tidak mudah implementasinya
karena banyak factor yang perlu dipertimbangkan, termasuk bagaimana
sosialisasi konsep itu di tengah-tengah masyarakat.
Meskipun demikian, perencanaan pembangunan yang melibatkan semua unsur /
komponen yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan ras, golongan,
agama, status sosial, pendidikan, tersebut paling tidak merupakan
langkah positif yang patut untuk dicermati dan dikembangkan secara
berkesinambungan baik dalam tataran wacana pemikiran maupun dalam
tataran implementasinya di tengah-tengah masyarakat. Sekaligus,
pendekatan baru dalam perencanaan pembangunan ini yang membedakan dengan
pola-pola pendekatan perencanaan pembangunan sebelumnya yang cenderung
sentralistik.
Nah, dengan era otonomi daerah yang tengah dikembangkan di tengah-tengah
masyarakat dengan asas desentralisasi ini diharapkan kesejahteraan
masyarakat dalam pengertian yang luas menjadi semakin baik dan
meningkat. Lagipula, pola pendekatan perencanaan pembangunan ini
sekaligus menjadi wahana pembelajaran demokrasi yang sangat baik bagi
masyarakat. Hal ini tercermin bagaimana masyarakat secara menyeluruh
mampu melakukan proses demokratisasi yang baik melalui forum-forum
musyawarah yang melibatkan semua unsur warga masyarakat mulai dari level
RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Warga), Kelurahan, Kecamatan, sampai
Kota.
Penggerak Pembangunan
Dalam pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif yang sedang
dikembangkan ini pada dasarnya yang menjadi ujung tombak dan sekaligus
garda terdepan bagi berhasilnya pendekatan perencanaan pembangunan
partisipatif tiada lain adalah sejauhmana keterlibatan warga termasuk
pengurus RT dan RW dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan program-program pembangunan yang ada di lingkup RT dan RW
tersebut.
Lembaga organisasi RT dan RW sebagai sebuah lembaga masyarakat yang
bersifat “pengabdian” yang dikelola oleh pengurus RT dan RW ini
benar-benar patut diacungi jempol karena pengabdian, ketulusan dan
keikhlasan yang dilakukan bagi kepentingan masyarakat semata-mata dan
jauh dari berbagai kepentingan pribadi. Barangkali pada level-level
seperti inilah pembelajaran demokratisasi warga diimplementasikan bagi
kepentingan warga masyarakat sekitarnya. Warga masyarakat yang
mengajukan usulan program kegiatan, warga masyarakat pulalah yang
melakukan dan sekaligus melakukan pengawasannya. Kesederhanaan,
kebersamaan, dan kejujuran diantara warga yang sangat majemuk barangkali
menjadi kata kunci perekat diantara mereka.
Bukanlah rahasia lagi bahwa yang namanya pengurus RT dan RW ini sudah
biasa kalau harus berkorban tenaga, pikiran, dan dana ketika melakukan
berbagai program kegiatan yang ada di lingkup ke-rt-an maupun ke-rw-an,
apalagi kalau menyambut adanya event-event tertentu. Bahkan tidak jarang
mereka harus berhadapan langsung dengan berbagai permasalahan sosial
kemasyarakatan, seperti masalah keributan / perkelahian antar warga,
keamanan warga, dan sebagainya yang kadangkala jiwa menjadi taruhannya.
Mudah-mudahan jiwa dan semangat pengabdian mereka tetap terjaga dengan
baik.
Harapan dan Tantangan
Nuansa demokratis benar-benar nampak diberbagai forum musyawarah tingkat
RT dan RW. Kesadaran dan kebersamaan yang tumbuh dan berkembang dengan
baik pada organisasi paling bawah ini paling tidak merupakan modal dasar
yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat di daerah pada
umumnya. Tetapi, kondisi yang ada di lingkup ke-rt-an maupun ke-rw-an
sekaligus bisa menjadi kendala atau ganjalan manakala aspirasi yang
tumbuh dan berkembang dari masyarakat level bawah ini terabaikan begitu
saja. Jangan sampai “manis di mulut tetapi sepi dalam realitas”. Apabila
hal ini terjadi, maka pola pendekatan perencanaan pembangunan
partisipatif hanya tinggal sebagai sebuah slogan yang manis dibicarakan,
namun pahit dalam tataran pelaksanaannya.
Sebagai sebuah gambaran sederhana, misalnya ketika akan diselenggarakan
Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang) maka setiap RT dan RW harus
mempersiapkan usulan-usulan program yang akan dilakukan untuk suatu
periode tertentu baik berupa usulan kegiatan yang bersifat phisik maupun
nonphisik. Usulan program yang diajukan oleh RT dan RW tersebut
selanjutnya dibawa ke level kelurahan untuk dibahas lebih lanjut ke
forum Muskelbang. Forum inilah diharapkan menjadi ajang pembelajaran
demokratisasi para warga di level kelurahan.
Nah, sebelum sampai pada forum Muskelbang, sesuai dengan SK Walikota
Surakarta Nomor: 410/45-A/1/2002 tentang pedoman teknis penyelenggaraan
Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan
Musyawarah Kota Membangun Kota Surakarta tahun 2002, disebutkan bahwa
sebelum dilaksanakan Muskelbang terlebih dahulu dilakukan Pra-Muskelbang
I dan II.
Secara garis besar, pada dasarnya apa yang dilakukan dalam kegiatan
Pra-Muskelbang I dan II merupakan tahapan-tahapan persiapan yang perlu
dilakukan agar Muskelbang yang akan diselenggarakan berjalan dengan baik
dan dapat mencapai tujuannya. Selanjutnya, apa yang telah dihasilkan
dalam forum Muskelbang ini akan dibahas ke forum musyawarah tingkat
Kecamatan (Muscambang) dan selanjutnya ke forum musyawarah Kota
(Muskotbang).
Musyawarah yang dilakukan mulai level Kelurahan, Kecamatan, dan Kota
tiada lain dimaksudkan untuk menjaring semua aspirasi yang berkembang
dari berbagai komponen masyarakat yang ada tanpa terkecuali untuk ikut
serta merencanakan, melaksanakan, dan melakukan pengawasan program
pembangunan daerahnya masing-masing. Apa yang dimusyawarahkan pada
forum-forum tersebut bukan saja usulan program kegiatan yang bersifat
program fisik tetapi juga yang bersifat non-fisik, termasuk didalamnya
sejumlah indicator keberhasilan dan besaran dana yang dibutuhkan untuk
melaksanakan kegiatan tersebut.
Pertanyaan yang sering muncul dari warga masyarakat lapisan bawah ini
adalah apakah program kegiatan yang diusulkan yang bersumber dari
musyawarah di tingkat RT dan RW tersebut nantinya akan terealisir?
Pertanyaan polos dan lugas yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam
warga masyarakat tersebut tentunya wajar dan sah-sah saja. Oleh karena,
umumnya mereka sangat berharap bahwa apa yang diusulkan tersebut dapat
terealisir, sehingga akan mampu memperbaiki kondisi lingkungan
masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, di sisi yang lain pemerintah kota
memiliki kendala klasik yaitu keterbatasan anggaran bagi pembangunan
daerah. Bahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2002 porsi
dana yang disediakan untuk pembangunan sangatlah minim. Disamping itu,
masyarakat sendiri juga tidak pernah tahu seberapa besar pemerintah kota
(pemkot) mampu menghasilkan penerimaan (pendapatan) bagi APBDnya dan
akan dialokasikan pada kegiatan apa. Ini berarti bahwa sosialisasi
memiliki arti yang sangat penting bagi warga masyarakat.
Mengingat berbagai keterbatasan yang ada (sumber dana), maka pemerintah
biasanya menggunakan strategi penetapan Daftar Skala Prioritas (DSP).
Dalam artian bahwa pemerintah hanya akan melaksanakan atau membiayai
program kegiatan yang memang menjadi skala prioritas utama pembangunan
di daerah. Nah, bagaimana dengan program kegiatan yang memiliki bobot
prioritas nomor-nomor berikutnya? Pertanyaan ini pernah muncul dalam
suatu forum pelatihan fasilitator di sebuah hotel di Solo beberapa waktu
yang lalu sebagai sebuah respon dari instruktur yang mewakili
pemerintah kota (pemkot).
Kalau yang diterima dan dibiayai APBD hanya usulan kegiatan yang
memperoleh prioritas utama, sementara prioritas nomor berikutnya
tersisihkan dan harus diusulkan lagi untuk periode berikutnya, maka hal
ini memberikan dampak yang kurang baik bagi para pengusul program
kegiatan yang sudah bersusah dan berpayah-payah menyusun usulan program
tersebut. Pertama: penentuan pola DSP seperti itu tidak efisien, karena
pengusul (RT dan RW) harus mengusulkan lagi untuk tahun berikutnya.
Kedua, salah satu dampak yang sangat tidak diharapkan adalah munculnya
sikap para pengusul yang lebih cenderung asal-asalan dalam mengajukan
usulan kegiatan, karena merasa toh pada akhirnya usulannya nanti tidak
terealisir juga. Sikap seperti ini bisa saja muncul sebagai sebuah
akumulasi kekecewaan yang lama. Ketiga, sikap lainnya yang barangkali
perlu diantisipasi adalah munculnya sikap masa bodoh, cuek atau tidak
mau tahu terhadap pembangunan masyarakat di lingkungannya.
Sikap-sikap tersebut jelas akan menghambat gerak pembangunan di suatu
daerah. Oleh karenanya, salah satu gagasan yang barangkali dapat
membantu meredam kekecewaan masyarakat adalah dengan menempatkan skala
prioritas pembangunan berdasarkan periodisasi (jenjang waktu),
katakanlah tahun pertama, kedua dan seterusnya. Kalau periodisasi ini
bisa dilakukan maka masyarakat akan tetap memiliki motivasi yang tinggi
karena mereka tahu bahwa usulan kegiatannya akan tetap dapat
dilaksanakan, meskipun tidak periode sekarang (misalnya). Disisi lain,
masyarakat akan memiliki apresiasi yang baik dan positif terhadap
pemerintah bahwa ternyata pemerintah benar-benar memiliki komitmen yang
tinggi terhadap masyarakat pada umumnya. Ini merupakan modal dasar
pembangunan yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat kedepan,
tumbuhnya kepercayaan terhadap pemerintahannya sendiri (pemkot).
Sumber :
http://empimuslion.wordpress.com/2008/04/01/paradigma-perencanaan-pembangunan-nasional/
http://dipisolo.tripod.com/content/artikel/partisipatif.htm
http://irmabsalia.blogspot.com/2010/03/teori-perencanaan-pembangunan.html
http://unsilster.com/2010/03/perencanaan-pembangunan-nasional-menurut-teori-tradisional/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar